Loading

Rabu, 04 Januari 2012

“Surganya Menyadarkan Ku”

Senja di ufuk barat telah menampakkan suryanya, mataharipun mulai menyelinap di balik awan bersembunyi dari gelapnya malam. Aku yang ketika itu duduk di depan jendela menatapi burung-burung yang mulai berterbangan menuju sarangnya, nyanyiannya pun terdengar sayup seolah-olah ikut merasakan isi hati ku saat itu.
Tanpa ku sadari air matapun jatuh membasahi pipi yang kemudian terpercik pada buku yang berada di genggaman ku. Tiba-tiba pikiran ku melayang jauh dari alam sadar yang tak seharusnya aku lakukan. Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Memori benak ini kembali memutar sebuah pengalaman hidup yang sulit untuk ku tutup rapat dalam kehidupan. Andai saja aku bisa memohon kepadanya, aku ingin meminta untuk tidak diingatkan lagi dengan peristiwa yang begitu sulit untuk dihapuskan.
Berawal dari sebuah pertemuan dengan seorang pria yang tak pernah ku kenal sebelumnya, awal pertemuan hanya biasa-biasa saja layaknya seperti orang yang tidak kenal satu sama lainnya. Namun tiba-tiba ia menyapa dengan ramah dan lembut yang jarang ku dengar dari pria lain.
“Dari mana dek?” pria itu bertanya yang sedikit membuat ku tersentak
“Baru pulang kuliah kak,” jawab ku dengan gamblangnya.
Aku pun berlalu begitu cepat dari hadapannya, tak ku hiraukan ia yang berteriak memanggil ku karena aku tak terbiasa berbicara banyak dengan orang yang tidak aku kenal.
Esok harinya,  sosok pria tersebut kembali menyapa ku.  Heran mengapa ia selalu hadir dihadapan ku setiap aku menempuh jalan yang sama sepulang dari kampus. Selidik demi selidik ternyata ia mempunyai sebuah counter handphone disekitar jalan tersebut.
Takdir mempertemukan kami kembali, suatu sore handphone ku mengalami masalah, aku bingung bagaimana cara memperbaikinya tanpa pikir panjang lagi langsung ku ambil motor dan bergegas ke tempat pria yang selalu menyapa ku sepulang dari kampus.
“Kak tolong perbaiki handphone ini ya,” pinta ku padanya.
“Memangnya  ada apa dengan handphone nya dek?” ia bertanya sembari memperbaiki handphone lainnya.
“Nggak tau juga sih,cuma terakhir saya pakai baik-baik aja.”
“Trus apa yang mau di perbaiki?” pertanyaan yang seperti mempermainkan ku.
“Handphone ini nggak bisa dipergunakan sebagaimana mestinya, jadi tolong diperbaiki lusa saya kemari lagi,” jawab ku berlalu dari hadapannya.
Singkat cerita semenjak pertemuan itu aku semakin dekat dengannya yang belakangan ku ketahui nama pria itu adalah Dodi. Dodi sosok seorang pria yang cukup baik sejauh aku mengenalnya, tak ada celah untuk menjauh dan tidak berteman dengannya, siapa sangka semenjak itu aku mulai menganggap dia seperti teman-teman ku yang lain.
Semenjak dia hadir dalam kehidupan ku, hari-hari pun menjadi lebih berwarna.Jarang ku hadapi masalah-masalah yang cukup berarti karena Dodi selalu hadir saat aku membutuhkannya.
Keesokannya sepulang dari kampus aku mendapat sebuah pesan singkat dari nomor yag tidak aku kenal, aku pun membacanya sembari berjalan ke gerbang kampus.
“Aku tunggu di Palanta Cafe sekarang.”
Pesan singkat yang membuat ku penasaran, aku pun bergegas ke tempat tersebut yang kebetulan tidak jauh dari kampus. Sesampainya disana tak seorang pun ku lihat pengunjung cafe itu, yang ku temukan hanya beberapa lilin dan setiap sudut ruangan dipenuhi dengan lampu hias. Aku terkejut ketika sosok Dodi berdiri dihadapan ku, ia pun datang dan menatap ku dengan tatapan yang tak pernah ku lihat sebelumnya.
“Maaf telah menyita waktu mu, aku hanya ingin mengutarakan sesuatu yang mungkin membuat sedikit marah. Namun, hal ini harus ku sampaikan karena menjadi hutang dalam hati yang harus ku lunasi.” Katanya penuh dengan keberanian.
“Apa maksud dari lilin-lilin ini?” jawab ku yang berpura-pura bingung.
“Lilin penerang dalam kehidupan, dan dirimu menjadi penerang dalam kehidupan ku.” Katany dengan sedikit terbata-bata.
“Maksudmu?”
“Jadilah lilin di hati ku.”
Hati terasa bergetar ketika pertanyaan tersebut keluar dari bibirnya, tak pernah terpikirkan sebelumnya jika dia melakukan hal ini. Aku terlanjur menganggapnya sebagai saudara ku, karena  memang tak ada perasaan yang berarti kepadanya. Dengan keberanian aku mencoba menjawab pertanyaan tersebut.

“Terima kasih atas kejujuran nya, aku hargai hal itu. Namun, maaf aku tidak mempunyai perasaan yang sama dengan yang kamu rasakan. Aku hanya menganggap mu sebagai kakak ku,” Jawab ku dengan perasaan takut kalau sampai ia tersinggung dengan ucapan itu.
Berbeda dengan yang aku bayangkan, ia memberikan ku senyuman manis walau tak bisa dipungkiri guratan kekecewaan terlihat dari wajah nya. Ia pun mengusap kepala ku dan berlalu begitu saja. Aku pun pergi meninggalkan tempat itu dengan perasan yang bercampur aduk, antara bahagia dan rasa bersalah.
Keganjalan pun ku rasakan semenjak peristiwa itu, aku jarang bertemu dengannya dan ia pun tidak menghubungi ku lagi, aku pun semakin merasa bersalah kalau-kalau ia tersinggung dengan penolakan itu. Namun, siang itu aku bertemu dengannya berharap ia bisa kembali seperti semula. Harapan hanya sekedar harapan yang ternyata jauh dari kenyataan, ia menemui ku hanya sekedar untuk pamit dan menyampaikan sesuatu untuk kepada ku.

“Terima kasih atas waktu mu bersama ku, mungkin aku belum bisa menggapai keinginan ku tetapi aku telah mempunyai waktu tujuh bulan bersama mu,” Ucapan yang membuat ku merasa semakin bersalah.
Aku tak bisa berkata apa-apa, yang ada hanya rasa bersalah telah membiarkan ia berlalu begitu saja. Semenjak ia pergi dalam kehidupan ku baru ku sadari ternyata ia begitu berarti dalam hidup ini, aku baru mengerti ini yang dinamakan cinta. Suatu keputusan yang membuat ku benar-benar harus melepaskan kesempatan yang sangat berharga ini.
Awalnya aku berpikir kalau peristiwa itu hanya membuat ku jauh dari raganya saja, tapi ternyata lebih dari itu. Aku harus merelakan ia pergi jauh dari hari-hari ku, entah apa yang telah ku perbuat saat itu hingga aku kehilangan yang tak semestinya ku lepaskan.
Entah kapan lagi semuanya kan kembali, semenjak itu aku hanya bisa berharap agar ia bisa tenang di sana. Aku tidak pernah tau bahwa dia mengidap suatu penyakit  dan ia tidak pernah mau bercerita tentang kehidupannya. Bodohnya aku yang tidak bisa mengetahui hal itu.
Sebagai pengobat rasa rindu dan salah yang teramat dalam, selalu ku kirimkan pesan cinta kepada burung yang berterbangan untuk ia sampaikan kepada mu saat melihat ku dari jendela surga. Seuntaian doa ku kirimkan kepadamu .
“Ya Allah…, aku tau Engkau selalu menjaganya untuk ku. Letakkan dia selalu di samping Mu, andaikan aku dapat menyapanya dari kejauhan ini aku ingin mengatakan maaf telah menyia-nyiakan mu,” doa ku untuk mu.
Semenjak itu aku mulai menyadari cinta memang tidak pernah bisa dirasakan dan dilihat dengan kasat mata, andaikan cinta mempunyai sinyal mungkin semua kita tidak akan pernah kehilangan cinta dari orang lain. Terkadang dicintai membuat kita menjadi angkuh sehingga tidak bisa membedakan mana kasih sayang yang tulus. Di saat kita mengetahui cinta itu datang, hampirilah ia rangkul ia dengan penuh ketulusan karena dengan tulusnya hati menerima cinta tersebut maka kekecewaan akan jauh dari hidup.
Mungkin kepergiannya membuat ku mengerti akan semua ini, sulit untuk bisa ikhlas menerima kenyataan bahwa ia telah tiada. Namun, ini cerita hidup yang harus aku jalani, cerita yang tidak ingin aku ungkap lagi. Dengan mengungkap cerita ini kembali, berarti aku telah mengulangi kesalahan untuk kesekian kalinya. Aku tau Dodi pun mungkin sekarang telah menemukan sebuah cinta yang tulus di alamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar